Sunday, 1 March 2015

FUNGSI DAN PERAN KPU DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA



Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ilmu Politik
Dosen Pengampu: Bapak Adib. H.S.Ag.,M.Si



Disusun oleh:
Susi susanti          (131211113)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO SEMARANG JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
TAHUN AJARAN
2014


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Komisi pemilihan umum (KPU) merupakan garda terdepan dalam sebuah negara. Apalagi dalam penyelenggaraan  pemilu.. Komisi ini tidak hanya berurusan dengan partai politik peserta pemilu, tetapi juga harus berhadapan langsung dengan pemerintah dan masyarakat luas. Dalam kondisi seperti ini, tidak jarang KPU berada pada posisi dilematis. Di satu pihak, KPU berusaha untuk melayani dan memenuhi kepentingan semua pihak (partai politik, pemerintah, dan masyarakat). Sementara di pihak lain, KPU harus betul-betul konsisten untuk menerapkan seluruh ketentuan perundang-undangan yang berlaku dimana banyak kepentingan para pihak itu dibatasi.
Meskipun harus berhadapan dengan para pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilu, KPU dituntut untuk senantiasa konsisten melaksanakan segala tugas dan wewenangnya. Tugas dan wewenang KPU ini diatur sedemikian rupa pada pasal 8 Undang-undang No. 15 Tahun 2011. [1]
KPU memiliki tugas dan wewenang dalam pelaksaan pemilu. Disisi lain, KPU juga dituntut untuk melaksanakan pemilu secara aman dan damai. Dalam kaitan ini, KPU  harus benar-benar bekerja secara transparan, mandiri dan independen (non partisan).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian KPU secara umum?
2.      Apa tugas KPU secara umum?
3.      Bagaimana KPU menciptakan negara demokratis?





BAB II
PEMBAHASAN
a)      Pengertian KPU Secara Umum
Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 22 ayat (5) menggariskan bahwa “pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”.
Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum mencakup seluruh wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan bahwa KPU dalam menyelenggarkaan dan melaksanakan pemilihan umum.
Oleh karena itu salah satu prasyarat penting dalam penyelenggaraan Pemilu di Negara demokrasi adalah bahwa penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh lembaga yang mandiri dari pemerintah (Ahmad Nadir, 2005 : 156).
Lembaga yang mampu menyelenggarakan pemilu di negara demokrasi adalah KPU. Sebab, KPU memiliki keuasaan penuh akan hal ini. Bahkan KPU dapat melaksanakan pemilu sesuai yang diinginkan.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalisme dan akuntabilitas.
Jadi, KPU dapat dikatakan sebagai pelaksana penyelenggaraan pemilu. Karena anggota KPU yang memiliki hak penuh akan hal itu.


b)     Peran Dan Fungsi Kpu Untuk Negara
Tugas, wewenang dan kewajiban KPU secara umum diatur dalam pasal 8, 9, 10 undang-undang nomor 15 tahun 2011 yang kurang lebih adalah:
1.      Merencenakan penyelenggarakan PEMILU
2.      Menetapkan Irganisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan PEMILU
3.      Mengkoordinasikan,menyelenggarakandanmengendalikan semua tahapan pelaksanaan PEMILU.
4.      Menetapkan peserta PEMILU
5.      Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi dan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten / kota
6.      Menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye dan pemungutan suara
7.      Menetapkan hasil pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten / kota
8.      Melakukan Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan PEMILU
9.      Melaksanakan tugas – tugas dan kewenangan lain yang di atur dalam Undang – Undang.[2]
Dalam mengejawantahkan fungsi diatas juga diatur bagaimana mekanisme kerja KPU dari tingkat pusat, provinsi hingga daerah dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah kewenangan disini banyak yang masih bersifat pasif dan menempatkan KPU sebagai lembaga administratif belaka. Padahal sebagai salah satu pilar penyelenggara demokrasi seharusnya KPU dapat lebih bersifat aktif dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya untuk mewujudkan cita-cita pemilu itu sendiri.
Yang dimaksud pasif dalam gagasan diatas adalah kewenangan KPU secara eksplisit hanya bersifat administratif dan terjebak pada pengaturan tentang eksistensinya, namun pada akhirnya masih membuka pintu kesempatan bagi para peserta PEMILU dalam melakukan pelanggaran dan hal-hal lainnya yang tidak sesuai dengan cita-cita dan asas PEMILU itu sendiri. Untuk membenahi kewenangan yang cenderung bersifat pasif pada undang-undang, KPU sebenarnya dapat mengoptimalkan perannya dengan membuat suatu peraturan pelaksana (PP) dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun sayangnya dari peraturan peraturan yang dibuat oleh KPU, banyak diantaranya masih menunjukkan kurangnya dominasi KPU dalam mewujudkan pemilihan umum yang demokratis. Contoh yang ingin saya bahas dalam lingkup essay ini adalah dalam hal penyelenggaraan kampanye, KPU mengeluarkan peraturan KPU nomor 1 tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye dimana dijelaskan bahwa setiap calon dapat menggunakan bentuk
kampanye seperti iklan, media massa dan media cetak lainnya dengan bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilihan umum untuk menyampaikan tema dan materi kampanye pemilu dengan menentukan durasi, frekuensi, bentuk dan substansi pemberitaan/penyiaran berdasarkan kebijakan redaksional”. Namun pada kenyataannya bentuk pengaturan seperti ini bertentangan dengan tujuan besar pemilu itu sendiri Sepintas pengaturan teknis yang demikian memang memberikan hak yang sama akan tetapi jelas bahwa setiap calon pada dasarnya memiliki kemampuan yang berbeda beda dalam melaksanakan kampanye itu sendiri, ada calon yang mampu menggunakan kekuatan modal secara besar dan adapula yang hanya terbatas, yang pada akhirnya mereka yang bermodal besar-lah yang dapat memaksimalkan potensi kampanye dalam bentuk kampanye iklan ini, bahkan semakin hari bentuk kampanye ini cenderung meresahkan masyarakat karena mengganggu fasilitas umum dengan jumlahnya yang sangat banyak diberbagai tempat. hal tersebut jelas melanggar asas kampanye itu sendiri yang terdapa dalam pasal 3 peraturan KPU bahwa: “Kampanye Pemilu dilakukan dengan prinsip efisien, ramah lingkungan, akuntabel, nondiskriminasi, dan tanpa kekerasan”.
Permasalahan kampanye tidak berhenti pada titik itu saja, para calon yang telah mengeluarkan banyak biaya dalam memenuhi kebutuhan kampanye mereka secara sosiologis menganggap hal tersebut merupakan modal mereka menduduki kursi-kursi jabatan yang dianalogikan sebagai modal usaha..
Sebagai tonggak pelaksana pesta demokrasi, KPU dapat menggunakan kewenangannya dalam mebuat regulasi (peraturan KPU) mengenai batas jumlah dana seseorang calon untuk melakukan kampanye, dalam undang-undang memang diatur bahwa keuangan calon diaudit oleh seorang akuntan publik namun cara tersebut cenderung mudah disimpangi dengan menggunakan pendanaan diluar dari dana si calon. Hal ini dapat kita lihat pada penelitian yang dilakukan ICW mengenai waktu pembuatan aturan teknis terkait dana kampanye yang sangat terlambat, Selain mengalami keterlambatan dari sisi waktu penyiapan, substansi pengaturan juga terkesan normatif. Beberapa tambahan yang dicakupkan di dalam aturan pendukung ini bahkan terkesan mengada-ada dan tidak bisa diterapkan. Aturan yang ada dinilai belum mendukung tercapainya transparansi dan akuntabilitas dana kampanye.[3]

c)      KPU Dan Negara Demokratis
Dalam perkembangan demokrasi di Indonesia pasca runtuhnya orde baru hingga saat ini telah mengembangkan pemikiran dari rakyat untuk mengimplementasikan asas kedaulatan rakyat dengan berbagai cara, sehingga dalam setiap sendi kehidupan bernegara nilai-nilai kedaulatan rakyat selalu menjadi jantung yang memompa darah keseluruh tubuh kenegaraan Republik Indonesia.
 Selama ini rakyat merasa bahwa kedaulatan mereka hanya terbatas pada partisipasi mereka dalam pemilu untuk memilih anggota legislatif yang merupakan perwujudan wakil rakyat, sehingga rakyat menuntut agar peranan rakyat tidak hanya terbatas pada lingkup pemilihan legislatif saja melainkan juga lingkup pemilihan lembaga eksekutif mulai dari lingkup lembaga eksekutif tertinggi yaitu presiden, sampai pemilihan kepala daerah.
Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan Negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalisme dan akuntabilitas.
Akuntabiltas berarti setiap pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan kewenangannya kepada publik baik secara politik maupun secara hukum.  Bertanggung jawab secara politik berarti setiap unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu mempunyai kewajiban menjelaskan kepada masyarakat fungsinya dan alasan tindakan yang diambil.
Bertanggungjawab secara hukum berarti setiap pihak yang diduga melakukan pelanggaran hukum perihal asas-asas Pemilu yang demokratik wajib tunduk pada proses penegakan hukum berdasarkan asas praduga tak bersalah dan asas due process of law yang diatur dalam KUHAP (ADAB, 2003 : 8-9).
Oleh karena itu salah satu prasyarat penting dalam penyelenggaraan Pemilu di Negara demokrasi adalah bahwa penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh lembaga yang mandiri dari pemerintah (Ahmad Nadir, 2005 : 156).
Pemilu merupakan satu-satunya prosedur demokrasi yang melegitimasi kewenangan dan tindakan para wakil rakyat untuk melakukan tindakan tertentu. Pemilu adalah mekanisme sirkulasi dan regenerasi kekuasaan. Pemilu juga satu-satunya cara untuk menggantikan kekuasaan lama tanpa melalui kekerasan (chaos) dan kudeta.
Melalui pemilu rakyat dapat menentukan sikap politiknya untuk tetap percaya pada pemerintah lama, atau menggantikannya dengan yang baru. Dengan kata lain, pemilu merupakan sarana penting dalam mempromosikan dan meminta akuntabilitas dari para pejabat public. Melalui pemilu diharapkan proses politik yang berlangsung akan melahirkan suatu pemerintahan baru yang sah, demokratis dan benar-benar mewakili kepentingan masyarakat pemilih. Karenanya, Pemilu 2009 yang sedang berlangsung , tidak dapat lagi disebut sebagai eksperimen demokrasi yang akan mentolerir berbagai kelemahan dan peluang-peluang yang dapat mengancam kehidupan demokratis itu sendiri.
Pemilu dapat dikatakan demokratis jika memenuhi beberapa prasyarat dasar. Tidak seperti pada masa rezim orde baru dimana pemilu seringkali disebut sebagai ‘demokrasi seolah-olah’, pemilu yang sedang berlangsung sekarang sebagai pemilu reformasi harus mampu menjamin tegaknya prinsip-prinsip pemilu yang demokratis. Setidak-tidaknya, ada 5 (lima) parameter universal dalam menentukan kadar demokratis atau tidaknya pemilu tersebut, yakni (Modul Pengawasan, Bawaslu, 2009 : 7-8):
·         Universalitas (Universality)
Karena nilai-nilai demokrasi merupakan nilai universal, maka pemilu yang demokratis juga harus dapat diukur secara universal. Artinya konsep, system, prosedur, perangkat dan pelaksanaan pemilu harus mengikuti kaedah-kaedah demokrasi universal itu sendiri.
·         Kesetaraan (Equality)
Pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kesetaraan antara masing-masing kontestan untuk berkompetisi. Salah satu unsur penting yang akan mengganjal prinsip kesetaraan ini adalah timpangnya kekuasaan dan kekuatan sumberdaya yang dimiliki kontestan pemilu. Secara sederhana, antara partai politik besar dengan partai politik kecil yang baru lahir tentunya memiliki kesenjangan sumberdaya yang lebar. Oleh karena itu, regulasi pemilu seharusnya dapat meminimalisir terjadinya political inequality.
·         Kebebasan (Freedom)
Dalam pemilu yang demokratis, para pemilih harus bebas menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming pemberian hadiah tertentu yang akan mempengaruhi pilihan mereka. Jika hal demikian terjadi dalam pelaksanaan pemilu, maka perlakunya harus diancam dengan sanksi pidana pemilu yang berat.
·         Kerahasiaan (Secrecy)
Apapun pilihan politik yang diambil oleh pemilih, tidak boleh diketahui oleh pihak manapun, bahkan oleh panitia pemilihan. Kerahasiaan sebagai suatu prinsip sangat terkait dengan kebebasan seseorang dalam memilih.Transparansi (Transparency)Segala hal yang terkait dengan aktivitas pemilu harus berlandaskan prinsip transparansi, baik KPU, peserta pemilu maupun Pengawas Pemilu. Transparansi ini terkait dengan dua hal, yakni kinerja dan penggunaan sumberdaya. KPU harus dapat meyakinkan public dan peserta pemilu bahwa mereka adalah lembaga independen yang kan menjadi pelaksana pemilu yang adil dan tidak berpihak (imparsial). Pengawas dan pemantau pemilu juga harus mampu menempatkan diri pada posisi yang netral dan tidak memihak pada salah satu peserta pemilu. Sementara peserta pemilu harus dapat menjelaskan kepada public darimana, berapa dan siapa yang menjadi donator untuk membiayai aktifitas kampanye pemilu mereka. Bagaimana system rekrutmen kandidat dan proses regenarasi politik yang ditempuh sehingga semua pihak memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai kandidat wakil rakyat.
Sementara itu Ozbudun mengajukan tiga kriteria utama utuk mengukur apakah proses Pemilu berjalan secara free, fair and competitive. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, adanya hak pilih universal bagi orang dewasa (universal adult suffrage). Artinya, setiap warga Negara dewasa mempunyai hak pilih yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, agama, suku, etnis, faham, keturunan, kekayaan dan semacamnya, kecuali mereka dicabut haknya berdasarkan undang-undang; hak pilih universal ini pada umumnya dapat difungsikan untuk dua pemilihan : (1) pemilihan para pejabat eksekutif, baik di pusat maupun di daerah; dan (2) pemilihan para wakil untuk lembaga perwakilan rakyat atau legislative (Putranto : 1981).
Kedua, adanya proses pemilihan yang adil (fairness of voting). Untuk mengukur apakah suatu pemilu dijalankan secara fair atau tidak, dapat diamati melalui beberapa instrument berikut : (1) adanya jaminan kerahasiaan dalam proses pemilihan atau pencoblosan (secret ballot), yang harus diejawantahkan dalam undang-undang pemilu; (2) adanya jaminan bahwa prosedur penghitungan suara dilakukan secara terbuka (open counting), dimana semua warganegara mempunyai akses dan berhak menyaksikan prosesnya; (3) tidak adanya kecurangan-kecurangan dalam pemilihan atau tahapan pemilihan, baik ditahapan pendaftaran, kampanye, pencoblosan sampai pada tahapan perhitungan suara (absence of electrol froud); (4) tidak ada kekerasan, baik kekerasan politik yang dilakukan oleh aparat keamanan/pemerintah, partai politik peserta pemilu, maupun para pemilih (absence of violence); dan (5) tidak adanya intimidasi, khususnya dalam proses pemberian suara atau pencoblosan (absence of intimidations).
Ketiga, adanya hak khususnya bagi partai politik untuk mengorganisasi dan mengajukan para kandidat, sehingga para pemilih mempunyai banyak pilihan untuk memilih di antara para calon yang berbeda baik secara kelompok maupun program-programnya.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kpu sebagai penyelenggara pemilihan umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi indonesia yang berkualitas berdasarkan pancasila dan UUD1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kpu mempunyai tugas kewenangan untuk merencanakan dan mempersiapkanpelaksanaan pemilihan umum, menerima dan mempersiapkan partai-partai yang berhak sebagai peserta pemilihan umum, membentuk panitia pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPIdan pengkoordinasikan kegiatan pemilihan umum dari tingkat pusat sampai di tempat pemungutan suara yang selanjutnya disebut TPS, menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I, DPRD II untuk setiap daerah pemilihan, menetapkan keseluruhan hasil pemilihan umum di semua daerah pemilihan DPR, DPRDI dan DPRD II, dan mengumpulkan dan mensistematiskan bahan-bahan serta data hasil pemilihan umum, memimpin tahapan kegiatan pemilihan umum.















DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly.. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:Konstitusi Press, 2005
Ramlan Surbakti dkk, 2008, Perekayaan Sistem Pemilihan
UmumUntuk Pembangunan Tata Politik Demokratis, Partnership for
Governance Reform Indonesia, Jakarta.
ADAB, Buku 3,  2003, Lokakarya Nasional Bagi Fasilitator Lokal
NTT, Maluku dan Papua Dalam Program Pendidikan Pemilih
Menyongsong Pemilu 2004, Hotel Santika Bali, 4-8 Desember 2003.




[1]Ramlan Surbakti dkk., Perekayasaan Sistem Pemilu untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis (Jakarta: Kemitraan, 2008), h. 16

[2]Huda, Ni’matul. 2005. Hukum Tata negara Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

No comments:

Post a Comment