Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Ilmu Politik
Dosen
Pengampu: Bapak Adib. H.S.Ag.,M.Si
Disusun
oleh:
Susi
susanti (131211113)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO SEMARANG JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
TAHUN
AJARAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komisi pemilihan umum (KPU)
merupakan garda terdepan dalam sebuah negara. Apalagi dalam
penyelenggaraan pemilu.. Komisi ini
tidak hanya berurusan dengan partai politik peserta pemilu, tetapi juga harus
berhadapan langsung dengan pemerintah dan masyarakat luas. Dalam kondisi
seperti ini, tidak jarang KPU berada pada posisi dilematis. Di satu pihak, KPU
berusaha untuk melayani dan memenuhi kepentingan semua pihak (partai politik,
pemerintah, dan masyarakat). Sementara di pihak lain, KPU harus betul-betul
konsisten untuk menerapkan seluruh ketentuan perundang-undangan yang berlaku
dimana banyak kepentingan para pihak itu dibatasi.
Meskipun harus berhadapan dengan para
pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilu, KPU dituntut untuk
senantiasa konsisten melaksanakan segala tugas dan wewenangnya. Tugas dan
wewenang KPU ini diatur sedemikian rupa pada pasal 8 Undang-undang No. 15 Tahun
2011. [1]
KPU memiliki tugas dan wewenang
dalam pelaksaan pemilu. Disisi lain, KPU juga dituntut untuk melaksanakan
pemilu secara aman dan damai. Dalam kaitan ini, KPU harus benar-benar
bekerja secara transparan, mandiri dan independen (non partisan).
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian KPU secara umum?
2.
Apa tugas KPU secara umum?
3.
Bagaimana KPU menciptakan negara demokratis?
BAB II
PEMBAHASAN
a) Pengertian KPU Secara Umum
Undang-Undang
Dasar 1945 dalam pasal 22 ayat (5) menggariskan bahwa “pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap
dan mandiri”.
Sifat
nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai
penyelenggara pemilihan umum mencakup seluruh wilayah Negara kesatuan Republik
Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas
secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat
mandiri menegaskan bahwa KPU dalam menyelenggarkaan dan melaksanakan pemilihan
umum.
Oleh karena
itu salah satu prasyarat penting dalam penyelenggaraan Pemilu di Negara
demokrasi adalah bahwa penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh lembaga yang
mandiri dari pemerintah (Ahmad Nadir, 2005 : 156).
Lembaga yang
mampu menyelenggarakan pemilu di negara demokrasi adalah KPU. Sebab, KPU memiliki
keuasaan penuh akan hal ini. Bahkan KPU dapat melaksanakan pemilu sesuai yang
diinginkan.
Dalam Undang-Undang
Dasar 1945 dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “kedaulatan berada ditangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Penyelenggaraan pemilihan
umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat terwujud
apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai
integritas, profesionalisme dan akuntabilitas.
Jadi, KPU
dapat dikatakan sebagai pelaksana penyelenggaraan pemilu. Karena anggota KPU
yang memiliki hak penuh akan hal itu.
b) Peran Dan Fungsi Kpu Untuk Negara
Tugas, wewenang dan kewajiban KPU
secara umum diatur dalam pasal 8, 9, 10 undang-undang nomor 15 tahun 2011 yang
kurang lebih adalah:
1.
Merencenakan penyelenggarakan PEMILU
2.
Menetapkan Irganisasi dan tata cara semua tahapan
pelaksanaan PEMILU
3.
Mengkoordinasikan,menyelenggarakandanmengendalikan
semua tahapan pelaksanaan PEMILU.
4.
Menetapkan peserta PEMILU
5.
Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi dan calon
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) kabupaten / kota
6.
Menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan
kampanye dan pemungutan suara
7.
Menetapkan hasil pemilu dan mengumumkan calon terpilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) kabupaten / kota
8.
Melakukan Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan PEMILU
Dalam mengejawantahkan fungsi diatas juga diatur
bagaimana mekanisme kerja KPU dari tingkat pusat, provinsi hingga daerah dalam
menjalankan fungsi dan kewenangannya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah
kewenangan disini banyak yang masih bersifat pasif dan menempatkan KPU sebagai
lembaga administratif belaka. Padahal sebagai salah satu pilar penyelenggara
demokrasi seharusnya KPU dapat lebih bersifat aktif dalam menjalankan fungsi
dan kewenangannya untuk mewujudkan cita-cita pemilu itu sendiri.
Yang dimaksud pasif dalam gagasan diatas adalah
kewenangan KPU secara eksplisit hanya bersifat administratif dan terjebak pada
pengaturan tentang eksistensinya, namun pada akhirnya masih membuka pintu
kesempatan bagi para peserta PEMILU dalam melakukan pelanggaran dan hal-hal
lainnya yang tidak sesuai dengan cita-cita dan asas PEMILU itu sendiri. Untuk
membenahi kewenangan yang cenderung bersifat pasif pada undang-undang, KPU
sebenarnya dapat mengoptimalkan perannya dengan membuat suatu peraturan
pelaksana (PP) dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Namun sayangnya dari peraturan peraturan yang dibuat
oleh KPU, banyak diantaranya masih menunjukkan kurangnya dominasi KPU dalam
mewujudkan pemilihan umum yang demokratis. Contoh yang ingin saya bahas dalam
lingkup essay ini adalah dalam hal penyelenggaraan kampanye, KPU mengeluarkan
peraturan KPU nomor 1 tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye dimana
dijelaskan bahwa setiap calon dapat menggunakan bentuk
“kampanye seperti iklan, media massa dan media
cetak lainnya dengan bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama kepada
peserta pemilihan umum untuk
menyampaikan
tema dan materi kampanye pemilu dengan menentukan durasi, frekuensi, bentuk dan
substansi pemberitaan/penyiaran berdasarkan kebijakan redaksional”. Namun pada kenyataannya bentuk pengaturan seperti
ini bertentangan dengan tujuan besar pemilu itu sendiri Sepintas pengaturan
teknis yang demikian memang memberikan hak yang sama akan tetapi jelas bahwa
setiap calon pada dasarnya memiliki kemampuan yang berbeda beda dalam
melaksanakan kampanye itu sendiri, ada calon yang mampu menggunakan kekuatan
modal secara besar dan adapula yang hanya terbatas, yang pada akhirnya mereka
yang bermodal besar-lah yang dapat memaksimalkan potensi kampanye dalam bentuk
kampanye iklan ini, bahkan semakin hari bentuk kampanye ini cenderung
meresahkan masyarakat karena mengganggu fasilitas umum dengan jumlahnya yang
sangat banyak diberbagai tempat. hal tersebut jelas melanggar asas kampanye itu
sendiri yang terdapa dalam pasal 3 peraturan KPU bahwa: “Kampanye Pemilu
dilakukan dengan prinsip efisien, ramah lingkungan, akuntabel,
nondiskriminasi, dan tanpa kekerasan”.
Permasalahan kampanye tidak berhenti pada titik itu
saja, para calon yang telah mengeluarkan banyak biaya dalam memenuhi kebutuhan
kampanye mereka secara sosiologis menganggap hal tersebut merupakan modal
mereka menduduki kursi-kursi jabatan yang dianalogikan sebagai modal usaha..
Sebagai tonggak pelaksana pesta demokrasi, KPU dapat
menggunakan kewenangannya dalam mebuat regulasi (peraturan KPU) mengenai batas
jumlah dana seseorang calon untuk melakukan kampanye, dalam undang-undang
memang diatur bahwa keuangan calon diaudit oleh seorang akuntan publik namun
cara tersebut cenderung mudah disimpangi dengan menggunakan pendanaan diluar
dari dana si calon. Hal ini dapat kita lihat pada penelitian yang dilakukan ICW
mengenai waktu pembuatan aturan teknis terkait dana kampanye yang sangat
terlambat, Selain mengalami keterlambatan dari sisi waktu penyiapan, substansi
pengaturan juga terkesan normatif. Beberapa tambahan yang dicakupkan di dalam
aturan pendukung ini bahkan terkesan mengada-ada dan tidak bisa diterapkan.
Aturan yang ada dinilai belum mendukung tercapainya transparansi dan
akuntabilitas dana kampanye.[3]
c) KPU Dan Negara Demokratis
Dalam perkembangan demokrasi di
Indonesia pasca runtuhnya orde baru hingga saat ini telah mengembangkan
pemikiran dari rakyat untuk mengimplementasikan asas kedaulatan rakyat dengan
berbagai cara, sehingga dalam setiap sendi kehidupan bernegara nilai-nilai
kedaulatan rakyat selalu menjadi jantung yang memompa darah keseluruh tubuh
kenegaraan Republik Indonesia.
Selama ini rakyat merasa bahwa kedaulatan
mereka hanya terbatas pada partisipasi mereka dalam pemilu untuk memilih
anggota legislatif yang merupakan perwujudan wakil rakyat, sehingga rakyat
menuntut agar peranan rakyat tidak hanya terbatas pada lingkup pemilihan
legislatif saja melainkan juga lingkup pemilihan lembaga eksekutif mulai dari
lingkup lembaga eksekutif tertinggi yaitu presiden, sampai pemilihan kepala
daerah.
Pemilihan umum secara langsung oleh
rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan
pemerintahan Negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa
“kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar”. Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan
umum yang mempunyai integritas, profesionalisme dan akuntabilitas.
Akuntabiltas berarti setiap pihak
yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu harus mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugas dan kewenangannya kepada publik baik secara politik maupun
secara hukum. Bertanggung jawab secara politik berarti setiap unsur yang
terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu mempunyai kewajiban menjelaskan kepada
masyarakat fungsinya dan alasan tindakan yang diambil.
Bertanggungjawab secara hukum
berarti setiap pihak yang diduga melakukan pelanggaran hukum perihal asas-asas
Pemilu yang demokratik wajib tunduk pada proses penegakan hukum berdasarkan
asas praduga tak bersalah dan asas due process of law yang diatur dalam KUHAP
(ADAB, 2003 : 8-9).
Oleh karena itu salah satu prasyarat
penting dalam penyelenggaraan Pemilu di Negara demokrasi adalah bahwa
penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh lembaga yang mandiri dari pemerintah
(Ahmad Nadir, 2005 : 156).
Pemilu merupakan satu-satunya
prosedur demokrasi yang melegitimasi kewenangan dan tindakan para wakil rakyat
untuk melakukan tindakan tertentu. Pemilu adalah mekanisme sirkulasi dan
regenerasi kekuasaan. Pemilu juga satu-satunya cara untuk menggantikan
kekuasaan lama tanpa melalui kekerasan (chaos) dan kudeta.
Melalui pemilu rakyat dapat
menentukan sikap politiknya untuk tetap percaya pada pemerintah lama, atau
menggantikannya dengan yang baru. Dengan kata lain, pemilu merupakan sarana
penting dalam mempromosikan dan meminta akuntabilitas dari para pejabat public.
Melalui pemilu diharapkan proses politik yang berlangsung akan melahirkan suatu
pemerintahan baru yang sah, demokratis dan benar-benar mewakili kepentingan
masyarakat pemilih. Karenanya, Pemilu 2009 yang sedang berlangsung , tidak
dapat lagi disebut sebagai eksperimen demokrasi yang akan mentolerir berbagai
kelemahan dan peluang-peluang yang dapat mengancam kehidupan demokratis itu
sendiri.
Pemilu dapat dikatakan demokratis
jika memenuhi beberapa prasyarat dasar. Tidak seperti pada masa rezim orde baru
dimana pemilu seringkali disebut sebagai ‘demokrasi seolah-olah’, pemilu yang
sedang berlangsung sekarang sebagai pemilu reformasi harus mampu menjamin
tegaknya prinsip-prinsip pemilu yang demokratis. Setidak-tidaknya, ada 5 (lima)
parameter universal dalam menentukan kadar demokratis atau tidaknya pemilu
tersebut, yakni (Modul Pengawasan, Bawaslu, 2009 : 7-8):
·
Universalitas (Universality)
Karena nilai-nilai demokrasi
merupakan nilai universal, maka pemilu yang demokratis juga harus dapat diukur
secara universal. Artinya konsep, system, prosedur, perangkat dan pelaksanaan
pemilu harus mengikuti kaedah-kaedah demokrasi universal itu sendiri.
·
Kesetaraan (Equality)
Pemilu yang demokratis harus mampu
menjamin kesetaraan antara masing-masing kontestan untuk berkompetisi. Salah
satu unsur penting yang akan mengganjal prinsip kesetaraan ini adalah
timpangnya kekuasaan dan kekuatan sumberdaya yang dimiliki kontestan pemilu.
Secara sederhana, antara partai politik besar dengan partai politik kecil yang
baru lahir tentunya memiliki kesenjangan sumberdaya yang lebar. Oleh karena
itu, regulasi pemilu seharusnya dapat meminimalisir terjadinya political
inequality.
·
Kebebasan (Freedom)
Dalam pemilu yang demokratis, para
pemilih harus bebas menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan,
intimidasi, iming-iming pemberian hadiah tertentu yang akan mempengaruhi
pilihan mereka. Jika hal demikian terjadi dalam pelaksanaan pemilu, maka
perlakunya harus diancam dengan sanksi pidana pemilu yang berat.
·
Kerahasiaan (Secrecy)
Apapun pilihan politik yang diambil
oleh pemilih, tidak boleh diketahui oleh pihak manapun, bahkan oleh panitia
pemilihan. Kerahasiaan sebagai suatu prinsip sangat terkait dengan kebebasan
seseorang dalam memilih.Transparansi (Transparency)Segala hal yang terkait
dengan aktivitas pemilu harus berlandaskan prinsip transparansi, baik KPU,
peserta pemilu maupun Pengawas Pemilu. Transparansi ini terkait dengan dua hal,
yakni kinerja dan penggunaan sumberdaya. KPU harus dapat meyakinkan public dan
peserta pemilu bahwa mereka adalah lembaga independen yang kan menjadi
pelaksana pemilu yang adil dan tidak berpihak (imparsial). Pengawas dan
pemantau pemilu juga harus mampu menempatkan diri pada posisi yang netral dan
tidak memihak pada salah satu peserta pemilu. Sementara peserta pemilu harus
dapat menjelaskan kepada public darimana, berapa dan siapa yang menjadi donator
untuk membiayai aktifitas kampanye pemilu mereka. Bagaimana system rekrutmen
kandidat dan proses regenarasi politik yang ditempuh sehingga semua pihak
memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai kandidat wakil rakyat.
Sementara
itu Ozbudun mengajukan tiga kriteria utama utuk mengukur apakah proses Pemilu
berjalan secara free, fair and competitive. Ketiga kriteria tersebut
adalah sebagai berikut :
Pertama,
adanya hak pilih universal bagi orang dewasa (universal adult suffrage).
Artinya, setiap warga Negara dewasa mempunyai hak pilih yang sama tanpa
membedakan jenis kelamin, agama, suku, etnis, faham, keturunan, kekayaan dan
semacamnya, kecuali mereka dicabut haknya berdasarkan undang-undang; hak pilih
universal ini pada umumnya dapat difungsikan untuk dua pemilihan : (1)
pemilihan para pejabat eksekutif, baik di pusat maupun di daerah; dan (2)
pemilihan para wakil untuk lembaga perwakilan rakyat atau legislative (Putranto
: 1981).
Kedua,
adanya proses pemilihan yang adil (fairness of voting). Untuk mengukur apakah
suatu pemilu dijalankan secara fair atau tidak, dapat diamati melalui beberapa
instrument berikut : (1) adanya jaminan kerahasiaan dalam proses pemilihan atau
pencoblosan (secret ballot), yang harus diejawantahkan dalam undang-undang
pemilu; (2) adanya jaminan bahwa prosedur penghitungan suara dilakukan secara
terbuka (open counting), dimana semua warganegara mempunyai akses dan berhak
menyaksikan prosesnya; (3) tidak adanya kecurangan-kecurangan dalam pemilihan
atau tahapan pemilihan, baik ditahapan pendaftaran, kampanye, pencoblosan
sampai pada tahapan perhitungan suara (absence of electrol froud); (4) tidak
ada kekerasan, baik kekerasan politik yang dilakukan oleh aparat
keamanan/pemerintah, partai politik peserta pemilu, maupun para pemilih
(absence of violence); dan (5) tidak adanya intimidasi, khususnya dalam proses
pemberian suara atau pencoblosan (absence of intimidations).
Ketiga, adanya
hak khususnya bagi partai politik untuk mengorganisasi dan mengajukan para
kandidat, sehingga para pemilih mempunyai banyak pilihan untuk memilih di
antara para calon yang berbeda baik secara kelompok maupun program-programnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kpu
sebagai penyelenggara pemilihan umum yang memiliki integritas, profesional,
mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi indonesia yang
berkualitas berdasarkan pancasila dan UUD1945 dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kpu
mempunyai tugas kewenangan untuk merencanakan dan mempersiapkanpelaksanaan
pemilihan umum, menerima dan mempersiapkan partai-partai yang berhak sebagai
peserta pemilihan umum, membentuk panitia pemilihan Indonesia yang selanjutnya
disebut PPIdan pengkoordinasikan kegiatan pemilihan umum dari tingkat pusat
sampai di tempat pemungutan suara yang selanjutnya disebut TPS, menetapkan
jumlah kursi anggota DPR, DPRD I, DPRD II untuk setiap daerah pemilihan,
menetapkan keseluruhan hasil pemilihan umum di semua daerah pemilihan DPR,
DPRDI dan DPRD II, dan mengumpulkan dan mensistematiskan bahan-bahan serta data
hasil pemilihan umum, memimpin tahapan kegiatan pemilihan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly.. Hukum Tata
Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:Konstitusi Press, 2005
Ramlan
Surbakti dkk, 2008, Perekayaan Sistem Pemilihan
UmumUntuk
Pembangunan Tata Politik Demokratis, Partnership for
Governance
Reform Indonesia, Jakarta.
ADAB, Buku
3, 2003, Lokakarya Nasional Bagi Fasilitator Lokal
NTT, Maluku
dan Papua Dalam Program Pendidikan Pemilih
Menyongsong
Pemilu 2004, Hotel Santika Bali, 4-8 Desember 2003.
No comments:
Post a Comment