Sunday, 1 March 2015

BENTUK DAN CORAK TAFSIR AL-QUR’AN



BENTUK DAN CORAK TAFSIR AL-QUR’AN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu  : Dra.Hj.Yuyun Afandi ;Lc.MA


     Disusun  Oleh:

1.      Reni Megawati                   (131311012)
2.      Sukmawati maghfurina H  (131311013)
3.      Ristian janur P                    (131311014)
4.      Ima nurhalimah                  (131311015)
5.      Dian Ardi S.                       (131311016)

                        FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
                  INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013


                   I.   PENDAHULUAN
                                   
Al Qur’an yang dalam memori kolektif kaum muslimin sepanjang abad sebagai kalam Allah, menyebut dirinya sebagai “ petunjuk bagi manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala sesuatu” sedemikian rupa sehinggga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas yang luput dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa kandungan al Qur’an bersifat universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu. Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai dengan kondisi sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai perkembangan tersendiri dalam kaitannya dengan proses untuk memahami dan menafsirkan al Qur’an.
Perkembangan penafsiran al Qur’an di Indonesia agak berbeda dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, maka mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk memahami bahasa al Qur’an sehingga proses penafsiran juga lumayan cepat dan pesat. Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Karena itu proses pemahaman al Qur’an terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan al Qur’an ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dipahami jika penafsiran al Qur’an di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya.

II RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah sejarah awal terjadinya penafsiran  Al Qur’an ?
2.      Apa pengertian tafsir secara etimologi  dan  terminologi ?
3.      Bagaimanakah pengertian bentuk dan corak tafsir  Al Qur’an?
4.      Apasajakah bentuk tafsir Al Qur’an?
5.      Apasajakah corak tafsir Al Qur’an?
   
             
III        PEMBAHASAN       
A  Sejarah awal terjadinya penafsiran  Al Qur’an
Sejarah penafsiran Alqur’an diawali pada  masa Rasulullah SAW saat beliau masih hidup. Seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW[1]. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an :
  1. Al-Qur'an itu sendiri karena kadang-kadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
  2. Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
  3. Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah ,  Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair[2]. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.Tafsir tafsir para sahabat disambut oleh segolongan tokoh tokoh tabi’in yang tersebar di berbagai kota . Maka berkembanglah suatu Tabaqoh Mufasirin , Tabaqoh madinahtabaqoh Iraq.Ibnu Taimiyyah berkata : Ulama’ yang paling ahli tentang tafsir ,ialah ulama’ Mekah lantaran mereka terdiri dari teman teman Ibnu Abbas seperti Mujahid,Atha,ikrima,Said ibn Jubair,Thaus dll.[3]
Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka’ab dengan murid-murid Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Mas’ud dengan murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah ibn-Di’amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.[4]
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi al-Matsur.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-rayi yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah

B.  Pengertian Tafsir Menurut Etimologi dan Terminologi

Tafsir menurut eitimologi beradari kata al-fasr yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu yang tertutup).Kata Tafsir yang merupakan bentuk masdar dari Fassara yang berarti menjelaskan makna yang dikehendaki oleh lafadz yang sulit.[5]Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan kandungan kandungan hukum dan hikmahnya [6].Jadi  Tafsir Al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur'an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya.
C. Pengertian bentuk dan corak tafsir  Al Qur’an
Dalam kamus bahasa Indonesia kata corak mempunyai beberapa makna. Di antaranya Corak berarti bunga atau gambar (ada yang berwarna -warna ) pada kain( tenunan, anyaman dsb),[7] Juga bermakna berjenis jenis warna pada warna dasar, juga berarti sifat( faham, macam, bentuk) tertentu. Kata corak dalam literatur sejarah tafsir, biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun, bahasa Arab yang berarti warna. Istilah ini pula di gunakan Azzahaby dalam kitabnya At-Tafsir Wa-al-Mufassirun. Berikut potongan ulasan beliau (وعن ألوان التفسير فى هذا العصر الحديث….) (Tentang corak-corak penafsiran di abad modern. Adapun tafsir menurut Istilah adalah:
التفسير علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكم
Tafsir adalah Ilmu untuk memahami kitabullah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hukum –hukumnya dan hikmah-hikmahnya.[8]
Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufasir.





D. Bentuk-bentuk tafsir Al Qur’an
Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1.      Tafsir bi al-Matsur
Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur'an berdasarkan penjelasan dari Al-Qur'an,[9] Al-Qur'an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi'in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.Kitab tafsir bil ma’stur yang paling tinggi nilainya,ialah Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabary yang tafsirnya dinamakan Jami’u Bayan fi’ Tafsiril Qur’an[10].
Contoh tafsir Al Qur'an dengan Al Qur'an antara lain:
"wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi minal fajri...." (Surat Al Baqarah:187)
Kata minal fajri adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi.
Contoh Tafsir Al Qur'an dengan Sunnah antara lain:
"alladziina amanuu wa lam yalbisuu iimaanahum bizhulmin......" (Surat Al An'am: 82)
Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ayat :
 lazhulmun 'azhiim" (Surat Luqman: 13)
Dengan itu Beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik.
2.      Tafsir bi ar-Rayi
Berdasarkan pengertian etimologi “ra’yi” berarti keyakinan (I’tiqod) dan ro’yi dalam terminologi tafsir adalah jihad.[12]Diantara sebab yang memicu kemunculan corak tafsir Al-Ra’yi yaitu semakin majunya ilmu ilmu keislaman yang diwarnai dengan ragam disiplin ilmu,karya karya ulama’aneka warna metode penafsiran [13] dan tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. AlQur’an sendiri mengajak kita ber ijtihad didalam memahami ayat ayat Nya dan memahami ajaran ajaran Nya[14].Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:
“khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2)
Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.




3.      Tafsir Isyari
Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Zahir adalah Ayat ayat Al-Qur’an yang mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari. tafsyir berdasarkan intuisi, atau bisikan batin
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:
“.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah.....” (Surat Al Baqarah: 67)
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby
E.     Corak Tafsir Al-Qur’an
Corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufasir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda,sehingga tafsir yang dihasilkannyapun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya.Tafsir dilihat dari segi corak atau kecenderungannya yang digunakan oleh mufassir pada dasarnya terdiri dari beberapa corak,diantaranya:[16]
a.      Tafsir Corak Shufy
Seiring dengan meluasnya budaya dan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, dalam bidang tasawuf tak luput mengalami perkembangan dan membentuk kecendrungan para penganutnya menjadi dua arah yang mempunyai pengaruh di dalam menafsirkan al-Qur’an.

1.      Tasawuf  Teoritis
Penganut aliran ini meneliti dan mengkaji al-Qur’an berdasarkan teori-teori mazhab yang sesuai dengan ajaran mereka. Mereka berupaya menemukan faktor-faktor yang mendukung teori dan ajaran mereka, sehingga aliran ini tampak berlebih-lebihan dalam memahami ayat, dan penafsirannya sering keluar ari arti zhahir yang di maksudkan oleh syara’ dan di dukung oleh kajian bahasa. Penafsiran yang demikian ditolak dan sangat sedikit jumlahnya.
2.      Tasawuf Praktis
Yang dimaksud dengan tasawuf praktis adalah tasawuf yang mempraktekkan gaya hidup zuhud dan meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah SWT.Para tokoh aliran ini menamai tafsir mereka dengan nama Tafsir al-Isyari, yaitu menta’wil ayat-ayat berbeda dengan arti zhahirnya yaitu berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya nampak oleh para pemimpin suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti zhahir yang di maksud.
Penafsiran seperti ini dapat di terima selama memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Tidak menafikan arti zhahir ayat.
2.         Didukung oleh dalil syara’ tertentu.
3.        Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
Mufassir tidak boleh mengklaim itulah satu-satunya tafsir yang dumaksud, dan menafikan sepenuhnya arti zhahir, akan tetapi ia harus mengakui arti zhahir itu terlebih dahulu.Contoh kitab tafsir Shufi :Tafsir Ibnu Araby karya Muhyiddin Ibnu Araby, yang sering disebut dengan tafsir Ibnu ‘Araby, Al-Kasyf, Al-Bayan,karya Ahmad Ibnu Ibnu
b.      Tafsir Corak Fiqh
Tafsir corak fiqh adalah penafsiran yang dibangun berdasarkan wawasan mufassirnya dalam teori ilmu fiqh. Tafsir semacam ini seakan akan melihat al-Qur’an sebagai kitab suci yang berisi ketentuan-ketentuan perundang-undangan atau menganggap al-Qur’an sebagai kitab hukum.[17]
Para sahabat setiap kali menemukan kesulitan untuk memahami hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an mereka langsung bertanya kepada Nabi SAW, dan beliau pun langsung menjawab. Jawaban Rasulullah SAW inilah sebagai al-Tafsir al-Fiqhi. Sepeninggalan Rasulullah SAW, sahabat mencari keputusan hukum dari al-Qur’an dan berusaha menarik kesimpulan dari hukum syari’ah berdasarkan ijtihad. Hasil ijtihad mereka inilah yang juga di sebut al-Tafsir al-Fiqhi. Demikian pula dimasa tabi’in.
al-Tafsir al-Fiqhi terus tumbuh dan berkembang pesatbersama berkembang pesatnya ijtihad. Pada masa lahir  mazhab fiqih yang empat dan lainnya banyak muncul masalah-masalah hukum yang belum ada ketentuan hukumnya dari ulama terdahulu, karena hal tersebut belum pernah terjadi pada zaman mereka. Maka para imam mazhab berusaha memecahkan masalah tersebut dengan merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah serta sumber hukum lainnya, sehingga dapat menarik kesimpulan dan meyakini sebagai sumber hukum yang benar yang di dukung oleh dalil-dalil dan bukti.
Perkembangan selanjutnya para imam mazhab memiliki banyak pengikut. Sebagian pengikutya ada yang sangat fanatik, sehingga mereka menafsirkan ayat hanya dari sudut pandang mazhab mereka saja. Sebagian dari mereka ada pula yang bersifat obyektif, yang menafsirkan ayat secara bebas dari sudut pandang bebagai mazhab yang sesuai dengan nalar mereka.
al-Tafsir al-Fiqhi ini tersbar luas di dalam halaman bebagai kitab fiqih yang di karang oleh tokoh dari berbagai mazhab. Terutama setelah masa kondifikasi, banyak ulama yang menulis karya tafsir yang sesuai dengan pandangan mazhab mereka.
c.       Tafsir Corak  Falsafi
Tafsir falsafi adalah penafsiran tafsir ayat ayat Al-Qur’an berdasarkan pendekatan logika atau pemikiran filsafat yang besrifat radikal dan riberal[18]. Latar belakang timbulnya corak ini adalah karena tersebarluasnya dan bertemunya aneka budaya, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya kemudian gerakan penerjemahan tumbuh dan giat dilaksanakan dimasa Dinasti Bani Abbas. Berbagai sumber perbendaharaan ilmu digali, dan aneka macam pustaka diterjemahkan termasuk buku-buku falsafa karya filisof Yunani.[19]Pandangan tokoh-tokoh islam terhadap falsafah terbagi kepada dua golongan:
Pertama, golongan yang menolak falsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara falsafat dengan agama, sehingga mereka berupaya menjauhkan filsafat dari umat dan menolak filsafat berdasarkan alasan dan dalil yang mereka anggap memadai. Tokoh pelopor kelompok iniadalah al-Imam al-Ghazali dan al-Fakr al-Razi.
Kedua, golongan yang mengagumi dan menerima filsafat, meskipun di dalamnya terdapat ide-ide yang bertentangan dengan nash dan syara’. Mereka berupaya mengkompromikan antara falsafat dan agama untuk mencapi titik temu. Namun usahanya hingga kini belum berhasil, sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an semata-mata berangkat dari sudut pandang teori-teori falsafi, yang didalamnya banyak hal yang tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur’an.
Diantara kitab-kitab tafsir bercorak falsafi yang di tulis oleh golongan pertama adalah kitab tafsir Mafatih al-Ghaib, oleh al-Fakhr al-Razi (w. 606 H). sedangkan dari golongan kedua tidak ditemukan adanya kitab tafsir berorak falsafi yang mereka tulis.
d.      Tafsir Corak ‘Ilmi
Tafir ‘Ilmi adalah: Penafsiran Al-Qur’an yang Pembahasannya menggunakan pendekatan istilah istilah ilmiah dalam mengungkapkan Ayat ayat Al-Qur’an dan seberapa dapat berusaha melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berbeda serta melibatkan pemikiran pemikiran filsafat[20]. Ajakan al-Qur’an adalah ajakan ilmiah, yang berdiri diatas pembebasan akal dari tahayul untuk keluasan berfikir. Allah SWT memerintahkan kita untuk memikirkan wahyunya yang tertulis selain itu Allah SWT juga memerintahkan kita untuk memikirkan wahyunya yang tampak, yaitu alam. Oleh karena itu didalam al-Qur’an banyak ayat yang memerintahkan kita untuk berfikir.
Meskipun ayat qauniyah secara tegas dan khusus tidak ditujukan pada para ilmuan, namun pada hakikatnya merekalah yang diharapkan meneliti dan memahami ayat-ayat qauniyah tersebut, karena mereka memiliki sarana dan kopetensi dibanding tokoh-tokoh di bidang ilmu lainnya.Para ulama menyadari hal demikian sehingga sebagian dari mereka mencoba menafsirkan ayat-ayat qauniyah berdasarkan kebahasaan, keunikannya, serta berdasarkan kajian ilmu pengetahuan maupun hasil kajian terhadap gejala atau fenomena alam.
Jadi, tafsir ‘Ilmi adalah sebuah upaya pendekatan al-Qur’an melalui kajian ilmu pengetahuan untuk mendapatkan apa yang di isyaratkan oleh al-Qur’an sebagai rahmat dan hidayah Allah SWT.[21]
Diantara ulama yang gigih mendukung corak al-Tafsir al-‘Ilmi ini adalah:
1.      Imam al-Fakhr al-Razi, melalui kitab tafsirnya yang besar, Mafatih al-Gahib.
2.       Al-imam al-ghazali, melalui kitab tafsirnya, Ihya’ ‘Ulum ad-Din dan Jawahir al-Qur’an.
3.       Al-Imam al-Suyuthi, melalui kitabnya, al-Itqan.[22]
e.       Tafsir Corak  al-Adabi al-Ijtima’i
Sebagai salah satu akibat perkembangan modern adalah munculnya corak tafsir yang mempunyai karakteristik tersendiri, berbeda dari corak tafsir lainnya dan memiliki corak tersendiri yang benar-benar baru bagi dunia tafsir dengan cara:
1.      Mengemukakan ungkapan al-Qur’an secara teliti.
2.      Menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an dengan menggunakan gaya bahasa yang indah dan menarik.
3.       Langkah berikutnya mufassir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
Pembahasan tafsir dengan menggunakan corak ini sepi dari penggunaan ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan.
Muhammad Husain adz-Dzahabi menyatakan bahwa tafsir yang bercorak al-Adabi al-Ijtima’i adalah tafsir yang menyinggung segi balaghah, keindahan bahasa al-Qur’an, dan ketelitian segi redaksinya, dengan menerangkan makna dan tujuan diturunkannya al-Qur’an. Kemudian mengaitkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an itu dengan hukum alam (sunnatullah) dan aturan kehidupan kemasyarakatan. Tafsir ini berusaha untuk memecahkan problema kehidupan umat Islampada khususnya, dan umat manusia pada umumnya.
Adapun Manna al-Qaththan memberikan batasanya dengan menyataka bahwa tafsir corak al-Adabi al-Ijtima’i adalah tafsir yang diperkaya oleh riwayat dari salaf al-ummah dan uraian tentang Sunatullah yang harus berlaku pada masyarakat. Disamping itu, menguraikan gaya ungkapan al-Qur’an yang pelik dengan menyinggung maknanya melalui ibarat-ibarat yang mudah dicerna. Serta berusaha menerangkan masalah-masalah yang asing dengan maksud mengembalikan kemuliaan dan kehormatan islam dan umatnya serta mengobati          penyakit-penyakit kemasyarakatan dengan pendekatan petujukan al-Qur’an.[23]

IV. PENUTUP

A.    Simpulan
1.      Dalam penafsiran al-Qur’an ada dua bentuk yang selama ini dipakai (diterapkan) oleh para ulama, yaitu: Al-Tafsir Bi al-Ma’tsur (Riwayat), Al-Tafsir Bi al-Ra’y (Pemikiran),dan Al-Isyari.
2.      Corak tafsir Al-Qur’an dibagi menjadi 5: Tafsir Shufi,Tafsir Fiqhi,Tafsir falsaf,Tafsir ‘Ilmiy,dan Tafsir Al-Adab Al-Ijtima’i.
3.      Sesungguhnya tafsir Al-Qur’an adalah maksud firman Allah yang terdapat dalam Al-Qur’anul karim. sehingga kita, dianjurkan bahkan sebagian Ulama’ mewajibkan Fardlu Kifayah bagi setiap muslim untuk mempelajari dan  mengkajinya .Karna Allah telah memberikan akal ataupun fikiran bagi manusia untuk melakukan Ijtihad dalam mengkaji ayat ayat muhkam mutaybihat.Di dalam Al-Quran pun banyak ayat yang menyebutkan bahwasanya manusia di perintahkan untuk berfikir .


B.     Saran
Al-Quran dan As-Sunnah merupakan sumber rujukan hukum dalam islam, yang mana dari keduanya pasti ada yang membuat bingung dalam memahami apa maksud dari sebagian ayat tersebut, oleh karena itu ilmu tafsir berguna untuk mengetahui apa yang tersirat dalam ayat, maka kita harus memahami dengan benar ilmu tafsir tersebut sebelum menafsirkan ayat-ayat, sehingga terhindar dari menafsirkan ayat yang asal-asalan.
C.        Penutup
Demikian makalah ini kami susun, mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan,dalam  pembuatan materi yang kami sajikan. Semoga makalah ini bermanfaat dan menjadikan sebagai tambahan ilmu bagi semua pembaca, Amin ya robbal’alamin.

                                                                 















DAFTAR PUSTAKA

Amanah,Pengantar Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir,Asyifa’, Semarang, 1993.
Amin,Suma,Muhammad, Studi ilmu ilmu Alqur’an,Pustaka Firdaus,Jakarta,2001.
Anwar,Rosihon. Ulumul Qur’an. Pustaka Setia,Bandung,2006.
Arin,Junaidi,Akhmad, Pebaruan Metodologi Tafsir Al-Quran,:Gunung Pati, Semarang ,2001
Hasbi Ash Shiddieqy Muhammad, Ilmu-ilmu Al-Quran,Pustaka Rizki Putra,Semarang,2002.
Hermawan Acep,Ulumul Qur’an,Remaja Rosdakarya, Bandung,2011.  
Masyhur Kahar, Pokok-Pokok Ulumul Quran,Rineka Cipta,Jakarta,1992.
Watt Montgomery, Pengantar Stadi Al-Quran,Raja Grafindo Persada,Jakarta,1995.




















[1] Akhmad Arin Junaidi,Pebaruan Metodologi Tafsir Al-Quran,(Semarang:Gunung Pati,2001),hlm.34-35.
[2] Mahmudi Af ,Bahan Ajar Dan Ilmu Tafsir( Kemenag,Jogjakarta,2010,)hlm.14.
[3] Muhammad Hasby AShyddieqi,Ilmu Ilmu Alqur’an(Semarang,Pustaka Risqi Putra,2002),hlm.200.
[4] Ibid.,hlm, 14-15.
 [5] Akhmad Arin Junaidi,Pebaruan Metodologi Tafsir Al-Quran,(Semarang:Gunung Pati,2001),hlm.15 lihat                                                                                               juga  Rosihon Anwar,Ulum Alqur’an,(Pustaka Setia,Bandung,2012)hlm 209.
[6] Rosihon Anwar,Ulum Alqur’an,(Pustaka Setia,Bandung,2012).,hlm,210.
[7] Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Modern ,(Surabaya,Apolo,1994).,hlm,51.
[8]Pengertian Tafsir menurut Az-Zamkhasyari Mahmudi AF, Bahan Ajar dan Ilmu Tafsir (Jgjakarta, Kemenag, 2010).,hlm, 7.
[9] Rosihon Anwar,Ulum Alqur’an,(Pustaka Setia,Bandung,2012).,hlm,214.
[10] Muhammad Hasby AShyddieqi,Ilmu Ilmu Alqur’an(Semarang,Pustaka Risqi Putra,2002).,hlm,201.
[11] Ibid 214 lihat juga Al-‘Arid , op.Cit.,hlm,48.
[12] Rosihon Anwar,Ulum Alqur’an,(Pustaka Setia,Bandung,2012).,hlm,220.
[13] Ibid.,hlm, 220 .paragraf 3(terakhir)
[14] QS.47, Muhammad : 2 dan QS 38, Shad:29.
[15] Muhammad Hasby AShyddieqi,Ilmu Ilmu Alqur’an(Semarang,Pustaka Risqi Putra,2002).,hlm,203.
[16] Acep Hermawan,Ulumul Qur’an,(Bandung:Remaja Rosdakarya,2011).,hlm,114.
[17] Ibid.,hlm114.
[18] Muhammad Amin Suma ,Studi Ilmu Ilmu Al-Qur’an,(Jakararta , Pustaka Firdaus, 2001).,hlm, 134.
[19] Ibid.,hlm.,115.
[20] Muhammad Amin Suma ,Studi Ilmu Ilmu Al-Qur’an,(Jakararta , Pustaka Firdaus, 2001).,hlm,135. Lihat juga Muhammad Husayn al-Dzahhabi,opcit.,hlm.210.

[21] Acep Hermawan,Ulumul Qur’an,(Bandung:Remaja Rosdakarya,2011).,hlm,116.
[22] Muhammad Amin Suma ,Studi Ilmu Ilmu Al-Qur’an,(Jakararta , Pustaka Firdaus, 2001).,hlm,135.
[23] Acep Hermawan,Ulumul Qur’an,(Bandung:Remaja Rosdakarya,2011),hlm.,117.

No comments:

Post a Comment