BENTUK DAN CORAK TAFSIR AL-QUR’AN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Dra.Hj.Yuyun Afandi ;Lc.MA
Disusun Oleh:
1.
Reni
Megawati (131311012)
2.
Sukmawati
maghfurina H (131311013)
3.
Ristian
janur P (131311014)
4.
Ima
nurhalimah (131311015)
5.
Dian
Ardi S. (131311016)
FAKULTAS DAKWAH DAN
KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2013
I. PENDAHULUAN
Al
Qur’an yang dalam memori kolektif kaum muslimin sepanjang abad sebagai kalam
Allah, menyebut dirinya sebagai “ petunjuk bagi manusia” dan memberikan
“penjelasan atas segala sesuatu” sedemikian rupa sehinggga tidak ada sesuatupun
yang ada dalam realitas yang luput dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa
kandungan al Qur’an bersifat universal, berarti aktualitas makna tersebut pada
tataran kesejarahan meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks
waktu. Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai
dengan kondisi sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai perkembangan
tersendiri dalam kaitannya dengan proses untuk memahami dan menafsirkan al
Qur’an.
Perkembangan
penafsiran al Qur’an di Indonesia agak berbeda dengan perkembangan yang terjadi
di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat
kelahiran tafsir al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh
perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Karena bahasa Arab adalah bahasa
mereka, maka mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk memahami bahasa al
Qur’an sehingga proses penafsiran juga lumayan cepat dan pesat. Hal ini berbeda
dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Karena itu proses
pemahaman al Qur’an terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan al Qur’an ke
dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran
yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dipahami jika
penafsiran al Qur’an di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika
dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya.
II RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah sejarah awal terjadinya
penafsiran Al Qur’an ?
2. Apa pengertian tafsir secara
etimologi dan terminologi ?
3. Bagaimanakah pengertian bentuk dan
corak tafsir Al Qur’an?
4. Apasajakah bentuk tafsir Al Qur’an?
5. Apasajakah corak tafsir Al Qur’an?
III PEMBAHASAN
A Sejarah awal
terjadinya penafsiran Al Qur’an
Sejarah
penafsiran Alqur’an diawali pada masa Rasulullah SAW saat beliau masih hidup. Seringkali
timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka
dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW[1].
Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam
menafsirkan Al-Qur'an :
- Al-Qur'an itu sendiri karena kadang-kadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
- Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
- Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.
Para
sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah , Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair[2]. Pada masa ini belum terdapat
satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.Tafsir tafsir para sahabat disambut
oleh segolongan tokoh tokoh tabi’in yang tersebar di berbagai kota . Maka
berkembanglah suatu Tabaqoh Mufasirin ,
Tabaqoh madinahtabaqoh Iraq.Ibnu Taimiyyah berkata : Ulama’ yang paling
ahli tentang tafsir ,ialah ulama’ Mekah lantaran mereka terdiri dari teman
teman Ibnu Abbas seperti Mujahid,Atha,ikrima,Said ibn Jubair,Thaus dll.[3]
Sesudah generasi sahabat, datanglah
generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah
masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn
Abbas,
Thaus ibn Kisan
al-Yamani
dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka’ab dengan murid-murid Muhammad ibn Ka’ab
al-Qurazhi, Abu al-Aliyah
ar-Riyahi
dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Mas’ud dengan murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah ibn-Di’amah, Atah ibn Abi Muslim
al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.[4]
Pada
masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka
sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir
sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika
pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi
kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn
al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi al-Matsur.
Perkembangan
ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Mekipun begitu
mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi
al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan
perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-rayi yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih
lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang
biasa disebut sebagai tafsir isyarah
B.
Pengertian Tafsir Menurut Etimologi dan Terminologi
Tafsir menurut eitimologi beradari kata al-fasr yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan
menyingkap sesuatu yang tertutup).Kata Tafsir yang merupakan bentuk masdar dari
Fassara yang berarti menjelaskan
makna yang dikehendaki oleh lafadz yang sulit.[5]Menurut
pengertian terminologi,
seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu
untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan
makna-maknanya, menyimpulkan kandungan kandungan hukum dan hikmahnya [6].Jadi
Tafsir Al-Qur'an adalah ilmu
pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur'an
dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang
arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di
pahami dan samar artinya.
C. Pengertian
bentuk dan corak tafsir Al Qur’an
Dalam kamus bahasa Indonesia kata corak mempunyai
beberapa makna. Di antaranya Corak berarti bunga atau gambar (ada yang berwarna
-warna ) pada kain( tenunan, anyaman dsb),[7]
Juga bermakna berjenis jenis warna pada warna dasar, juga berarti sifat( faham,
macam, bentuk) tertentu. Kata corak dalam literatur sejarah tafsir, biasanya
digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun, bahasa Arab yang berarti warna.
Istilah ini pula di gunakan Azzahaby dalam kitabnya At-Tafsir Wa-al-Mufassirun.
Berikut potongan ulasan beliau (وعن ألوان
التفسير فى هذا العصر الحديث….) (Tentang corak-corak penafsiran di abad modern. Adapun
tafsir menurut Istilah adalah:
التفسير علم يعرف به فهم كتاب الله
المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكم
Tafsir
adalah Ilmu untuk memahami kitabullah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW
untuk menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hukum –hukumnya dan
hikmah-hikmahnya.[8]
Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang
mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual
seseorang mufasir.
D. Bentuk-bentuk tafsir Al Qur’an
Adapun
bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga
yaitu:
1. Tafsir bi al-Matsur
Dinamai
dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam
melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan
masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir
yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur'an
berdasarkan penjelasan dari Al-Qur'an,[9]
Al-Qur'an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah
yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh
besar tabi'in karena mereka pada umumnya
menerimanya dari para sahabat.Kitab tafsir bil ma’stur yang paling tinggi
nilainya,ialah Tafsir Ibnu Jarir Ath
Thabary yang tafsirnya dinamakan Jami’u
Bayan fi’ Tafsiril Qur’an[10].
Contoh tafsir Al Qur'an dengan Al
Qur'an antara lain:
"wa kuluu wasyrobuu hattaa
yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi minal
fajri...."
(Surat Al Baqarah:187)
Kata minal fajri adalah
tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi.
Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan
mengacu pada ayat :
Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang
terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As
Samarkandy, Tafsir Ad Dararul
Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn
Makhlad,
Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja'far An Nahhas).[11]
2. Tafsir bi ar-Rayi
Berdasarkan
pengertian etimologi “ra’yi” berarti
keyakinan (I’tiqod) dan ro’yi dalam
terminologi tafsir adalah jihad.[12]Diantara
sebab yang memicu kemunculan corak tafsir Al-Ra’yi
yaitu semakin majunya ilmu ilmu keislaman yang diwarnai dengan ragam disiplin
ilmu,karya karya ulama’aneka warna metode penafsiran [13]
dan tumbuhnya ilmu pengetahuan pada
masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan
ijtihad dibandingkan dengan penggunaan
tafsir bi al-Matsur. AlQur’an sendiri mengajak kita ber ijtihad didalam
memahami ayat ayat Nya dan memahami ajaran ajaran Nya[14].Dengan
bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan
ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk
menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan
ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir
Jalalain:
Kata alaq disini diberi makna
dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.
Beberapa tafsir bir ra'yi yang
terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur
Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin.[15]
3. Tafsir Isyari
Menurut
kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang
zahir dan batin. Zahir adalah Ayat ayat Al-Qur’an yang
mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang
isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh
ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan
Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa
disebut tafsir Isyari. tafsyir berdasarkan intuisi, atau bisikan batin
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:
Yang mempunyai makna zhahir
adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi
betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang
terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby
E.
Corak Tafsir Al-Qur’an
Corak penafsiran yang dimaksud dalam
hal ini adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini
terjadi karena mufasir memiliki latar belakang keilmuan yang
berbeda-beda,sehingga tafsir yang dihasilkannyapun memiliki corak sesuai dengan
disiplin ilmu yang dikuasainya.Tafsir dilihat dari segi corak atau
kecenderungannya yang digunakan oleh mufassir pada dasarnya terdiri dari
beberapa corak,diantaranya:[16]
a.
Tafsir Corak Shufy
Seiring
dengan meluasnya budaya dan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, dalam bidang
tasawuf tak luput mengalami perkembangan dan membentuk kecendrungan para
penganutnya menjadi dua arah yang mempunyai pengaruh di dalam menafsirkan al-Qur’an.
1. Tasawuf Teoritis
Penganut
aliran ini meneliti dan mengkaji al-Qur’an berdasarkan teori-teori mazhab yang
sesuai dengan ajaran mereka. Mereka berupaya menemukan faktor-faktor yang
mendukung teori dan ajaran mereka, sehingga aliran ini tampak berlebih-lebihan
dalam memahami ayat, dan penafsirannya sering keluar ari arti zhahir yang di
maksudkan oleh syara’ dan di dukung oleh kajian bahasa. Penafsiran yang
demikian ditolak dan sangat sedikit jumlahnya.
2. Tasawuf Praktis
Yang
dimaksud dengan tasawuf praktis adalah tasawuf yang mempraktekkan gaya hidup
zuhud dan meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah SWT.Para tokoh aliran ini
menamai tafsir mereka dengan nama Tafsir al-Isyari, yaitu menta’wil
ayat-ayat berbeda dengan arti zhahirnya yaitu berdasarkan isyarat-isyarat
tersembunyi yang hanya nampak oleh para pemimpin suluk, namun tetap dapat
dikompromikan dengan arti zhahir yang di maksud.
Penafsiran
seperti ini dapat di terima selama memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak menafikan arti zhahir ayat.
2. Didukung oleh dalil syara’ tertentu.
3. Tidak bertentangan dengan syara’ dan
akal.
Mufassir
tidak boleh mengklaim itulah satu-satunya tafsir yang dumaksud, dan menafikan
sepenuhnya arti zhahir, akan tetapi ia harus mengakui arti zhahir itu terlebih
dahulu.Contoh kitab tafsir Shufi :Tafsir
Ibnu Araby karya Muhyiddin Ibnu Araby, yang sering disebut dengan tafsir Ibnu ‘Araby, Al-Kasyf, Al-Bayan,karya
Ahmad Ibnu Ibnu
b.
Tafsir Corak Fiqh
Tafsir corak fiqh adalah penafsiran yang dibangun berdasarkan
wawasan mufassirnya dalam teori ilmu fiqh. Tafsir semacam ini seakan
akan melihat al-Qur’an sebagai kitab suci yang berisi ketentuan-ketentuan
perundang-undangan atau menganggap al-Qur’an sebagai kitab hukum.[17]
Para
sahabat setiap kali menemukan kesulitan untuk memahami hukum yang terdapat di
dalam al-Qur’an mereka langsung bertanya kepada Nabi SAW, dan beliau pun
langsung menjawab. Jawaban Rasulullah SAW inilah sebagai al-Tafsir al-Fiqhi.
Sepeninggalan Rasulullah SAW, sahabat mencari keputusan hukum dari al-Qur’an
dan berusaha menarik kesimpulan dari hukum syari’ah berdasarkan ijtihad. Hasil
ijtihad mereka inilah yang juga di sebut al-Tafsir al-Fiqhi. Demikian
pula dimasa tabi’in.
al-Tafsir
al-Fiqhi terus
tumbuh dan berkembang pesatbersama berkembang pesatnya ijtihad. Pada masa
lahir mazhab fiqih yang empat dan
lainnya banyak muncul masalah-masalah hukum yang belum ada ketentuan hukumnya
dari ulama terdahulu, karena hal tersebut belum pernah terjadi pada zaman mereka.
Maka para imam mazhab berusaha memecahkan masalah tersebut dengan merujuk
kepada al-Qur’an dan sunnah serta sumber hukum lainnya, sehingga dapat menarik
kesimpulan dan meyakini sebagai sumber hukum yang benar yang di dukung oleh
dalil-dalil dan bukti.
Perkembangan
selanjutnya para imam mazhab memiliki banyak pengikut. Sebagian pengikutya ada
yang sangat fanatik, sehingga mereka menafsirkan ayat hanya dari sudut pandang
mazhab mereka saja. Sebagian dari mereka ada pula yang bersifat obyektif, yang
menafsirkan ayat secara bebas dari sudut pandang bebagai mazhab yang sesuai
dengan nalar mereka.
al-Tafsir
al-Fiqhi ini
tersbar luas di dalam halaman bebagai kitab fiqih yang di karang oleh tokoh
dari berbagai mazhab. Terutama setelah masa kondifikasi, banyak ulama yang
menulis karya tafsir yang sesuai dengan pandangan mazhab mereka.
c.
Tafsir Corak Falsafi
Tafsir
falsafi adalah penafsiran tafsir ayat ayat Al-Qur’an berdasarkan pendekatan
logika atau pemikiran filsafat yang besrifat radikal dan riberal[18].
Latar belakang timbulnya corak ini adalah karena tersebarluasnya dan bertemunya
aneka budaya, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya kemudian
gerakan penerjemahan tumbuh dan giat dilaksanakan dimasa Dinasti Bani Abbas.
Berbagai sumber perbendaharaan ilmu digali, dan aneka macam pustaka
diterjemahkan termasuk buku-buku falsafa karya filisof Yunani.[19]Pandangan
tokoh-tokoh islam terhadap falsafah terbagi kepada dua golongan:
Pertama, golongan yang menolak falsafat,
karena mereka menemukan adanya pertentangan antara falsafat dengan agama,
sehingga mereka berupaya menjauhkan filsafat dari umat dan menolak filsafat
berdasarkan alasan dan dalil yang mereka anggap memadai. Tokoh pelopor kelompok
iniadalah al-Imam al-Ghazali dan al-Fakr al-Razi.
Kedua,
golongan
yang mengagumi dan menerima filsafat, meskipun di dalamnya terdapat ide-ide
yang bertentangan dengan nash dan syara’. Mereka berupaya mengkompromikan
antara falsafat dan agama untuk mencapi titik temu. Namun usahanya hingga kini
belum berhasil, sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an semata-mata
berangkat dari sudut pandang teori-teori falsafi, yang didalamnya banyak hal
yang tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur’an.
Diantara
kitab-kitab tafsir bercorak falsafi yang di tulis oleh golongan pertama adalah
kitab tafsir Mafatih al-Ghaib, oleh al-Fakhr al-Razi (w. 606 H).
sedangkan dari golongan kedua tidak ditemukan adanya kitab tafsir berorak
falsafi yang mereka tulis.
d. Tafsir Corak ‘Ilmi
Tafir
‘Ilmi adalah: Penafsiran Al-Qur’an yang Pembahasannya menggunakan pendekatan istilah
istilah ilmiah dalam mengungkapkan Ayat ayat Al-Qur’an dan seberapa dapat
berusaha melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berbeda serta
melibatkan pemikiran pemikiran filsafat[20]. Ajakan al-Qur’an adalah ajakan
ilmiah, yang berdiri diatas pembebasan akal dari tahayul untuk keluasan
berfikir. Allah SWT memerintahkan kita untuk memikirkan wahyunya yang tertulis
selain itu Allah SWT juga memerintahkan kita untuk memikirkan wahyunya yang
tampak, yaitu alam. Oleh karena itu didalam al-Qur’an banyak ayat yang
memerintahkan kita untuk berfikir.
Meskipun
ayat qauniyah secara tegas dan khusus tidak ditujukan pada para ilmuan,
namun pada hakikatnya merekalah yang diharapkan meneliti dan memahami ayat-ayat
qauniyah tersebut, karena mereka memiliki sarana dan kopetensi dibanding
tokoh-tokoh di bidang ilmu lainnya.Para ulama menyadari hal demikian sehingga
sebagian dari mereka mencoba menafsirkan ayat-ayat qauniyah berdasarkan
kebahasaan, keunikannya, serta berdasarkan kajian ilmu pengetahuan maupun hasil
kajian terhadap gejala atau fenomena alam.
Jadi,
tafsir ‘Ilmi adalah sebuah upaya pendekatan al-Qur’an melalui kajian
ilmu pengetahuan untuk mendapatkan apa yang di isyaratkan oleh al-Qur’an
sebagai rahmat dan hidayah Allah SWT.[21]
Diantara
ulama yang gigih mendukung corak al-Tafsir al-‘Ilmi ini adalah:
1. Imam al-Fakhr al-Razi, melalui kitab
tafsirnya yang besar, Mafatih al-Gahib.
2. Al-imam al-ghazali, melalui kitab tafsirnya, Ihya’
‘Ulum ad-Din dan Jawahir al-Qur’an.
e.
Tafsir
Corak al-Adabi al-Ijtima’i
Sebagai
salah satu akibat perkembangan modern adalah munculnya corak tafsir yang
mempunyai karakteristik tersendiri, berbeda dari corak tafsir lainnya dan
memiliki corak tersendiri yang benar-benar baru bagi dunia tafsir dengan cara:
1. Mengemukakan ungkapan al-Qur’an secara
teliti.
2. Menjelaskan makna-makna yang
dimaksud oleh al-Qur’an dengan menggunakan gaya bahasa yang indah dan menarik.
3. Langkah berikutnya mufassir berusaha
menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang dikaji dengan kenyataan sosial dan
sistem budaya yang ada.
Pembahasan
tafsir dengan menggunakan corak ini sepi dari penggunaan ilmu dan teknologi,
dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu
dan hanya sebatas kebutuhan.
Muhammad
Husain adz-Dzahabi menyatakan bahwa tafsir yang bercorak al-Adabi
al-Ijtima’i adalah tafsir yang menyinggung segi balaghah, keindahan
bahasa al-Qur’an, dan ketelitian segi redaksinya, dengan menerangkan makna dan
tujuan diturunkannya al-Qur’an. Kemudian mengaitkan kandungan ayat-ayat
al-Qur’an itu dengan hukum alam (sunnatullah) dan aturan kehidupan
kemasyarakatan. Tafsir ini berusaha untuk memecahkan problema kehidupan umat
Islampada khususnya, dan umat manusia pada umumnya.
Adapun
Manna al-Qaththan memberikan batasanya dengan menyataka bahwa tafsir corak al-Adabi
al-Ijtima’i adalah tafsir yang diperkaya oleh riwayat dari salaf
al-ummah dan uraian tentang Sunatullah yang harus berlaku pada
masyarakat. Disamping itu, menguraikan gaya ungkapan al-Qur’an yang pelik
dengan menyinggung maknanya melalui ibarat-ibarat yang mudah dicerna. Serta
berusaha menerangkan masalah-masalah yang asing dengan maksud mengembalikan
kemuliaan dan kehormatan islam dan umatnya serta mengobati penyakit-penyakit kemasyarakatan dengan
pendekatan petujukan al-Qur’an.[23]
IV. PENUTUP
A. Simpulan
1. Dalam penafsiran al-Qur’an ada dua
bentuk yang selama ini dipakai (diterapkan) oleh para ulama, yaitu: Al-Tafsir
Bi al-Ma’tsur (Riwayat), Al-Tafsir Bi al-Ra’y (Pemikiran),dan
Al-Isyari.
2. Corak tafsir Al-Qur’an dibagi
menjadi 5: Tafsir Shufi,Tafsir Fiqhi,Tafsir falsaf,Tafsir ‘Ilmiy,dan Tafsir
Al-Adab Al-Ijtima’i.
3. Sesungguhnya tafsir Al-Qur’an adalah
maksud firman Allah yang terdapat dalam Al-Qur’anul karim. sehingga kita,
dianjurkan bahkan sebagian Ulama’ mewajibkan Fardlu Kifayah bagi setiap muslim
untuk mempelajari dan mengkajinya .Karna
Allah telah memberikan akal ataupun fikiran bagi manusia untuk melakukan
Ijtihad dalam mengkaji ayat ayat muhkam mutaybihat.Di dalam Al-Quran pun banyak
ayat yang menyebutkan bahwasanya manusia di perintahkan untuk berfikir .
B. Saran
Al-Quran dan As-Sunnah merupakan
sumber rujukan hukum dalam islam, yang mana dari keduanya pasti ada yang
membuat bingung dalam memahami apa maksud dari sebagian ayat tersebut, oleh
karena itu ilmu tafsir berguna untuk mengetahui apa yang tersirat dalam ayat,
maka kita harus memahami dengan benar ilmu tafsir tersebut sebelum menafsirkan
ayat-ayat, sehingga terhindar dari menafsirkan ayat yang asal-asalan.
C. Penutup
Demikian makalah ini kami susun, mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan,dalam pembuatan materi yang
kami sajikan.
Semoga makalah ini bermanfaat dan menjadikan sebagai tambahan ilmu bagi semua
pembaca, Amin ya robbal’alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Amanah,Pengantar Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir,Asyifa’,
Semarang, 1993.
Amin,Suma,Muhammad,
Studi ilmu ilmu Alqur’an,Pustaka
Firdaus,Jakarta,2001.
Anwar,Rosihon.
Ulumul Qur’an. Pustaka
Setia,Bandung,2006.
Arin,Junaidi,Akhmad,
Pebaruan Metodologi Tafsir Al-Quran,:Gunung
Pati, Semarang ,2001
Hasbi
Ash Shiddieqy Muhammad, Ilmu-ilmu
Al-Quran,Pustaka Rizki Putra,Semarang,2002.
Hermawan
Acep,Ulumul Qur’an,Remaja Rosdakarya,
Bandung,2011.
Masyhur
Kahar, Pokok-Pokok Ulumul Quran,Rineka
Cipta,Jakarta,1992.
Watt
Montgomery, Pengantar Stadi Al-Quran,Raja
Grafindo Persada,Jakarta,1995.
[1] Akhmad Arin Junaidi,Pebaruan
Metodologi Tafsir Al-Quran,(Semarang:Gunung Pati,2001),hlm.34-35.
[2] Mahmudi Af ,Bahan Ajar Dan Ilmu Tafsir(
Kemenag,Jogjakarta,2010,)hlm.14.
[3] Muhammad Hasby AShyddieqi,Ilmu Ilmu Alqur’an(Semarang,Pustaka Risqi
Putra,2002),hlm.200.
[4] Ibid.,hlm, 14-15.
[6] Rosihon Anwar,Ulum Alqur’an,(Pustaka
Setia,Bandung,2012).,hlm,210.
[7] Daryanto, Kamus Bahasa
Indonesia Modern ,(Surabaya,Apolo,1994).,hlm,51.
[8]Pengertian Tafsir menurut Az-Zamkhasyari Mahmudi AF, Bahan Ajar dan Ilmu Tafsir (Jgjakarta,
Kemenag, 2010).,hlm, 7.
[9] Rosihon Anwar,Ulum Alqur’an,(Pustaka
Setia,Bandung,2012).,hlm,214.
[10] Muhammad Hasby AShyddieqi,Ilmu Ilmu Alqur’an(Semarang,Pustaka Risqi
Putra,2002).,hlm,201.
[11] Ibid 214 lihat juga
Al-‘Arid , op.Cit.,hlm,48.
[12] Rosihon Anwar,Ulum Alqur’an,(Pustaka
Setia,Bandung,2012).,hlm,220.
[14] QS.47, Muhammad : 2 dan QS 38, Shad:29.
[15] Muhammad Hasby AShyddieqi,Ilmu Ilmu Alqur’an(Semarang,Pustaka Risqi
Putra,2002).,hlm,203.
[16] Acep Hermawan,Ulumul Qur’an,(Bandung:Remaja
Rosdakarya,2011).,hlm,114.
[17] Ibid.,hlm114.
[18] Muhammad Amin Suma ,Studi
Ilmu Ilmu Al-Qur’an,(Jakararta , Pustaka Firdaus, 2001).,hlm, 134.
[19] Ibid.,hlm.,115.
[20] Muhammad Amin Suma ,Studi
Ilmu Ilmu Al-Qur’an,(Jakararta , Pustaka Firdaus, 2001).,hlm,135. Lihat
juga Muhammad Husayn al-Dzahhabi,opcit.,hlm.210.
[21] Acep Hermawan,Ulumul Qur’an,(Bandung:Remaja
Rosdakarya,2011).,hlm,116.
[22] Muhammad Amin Suma ,Studi
Ilmu Ilmu Al-Qur’an,(Jakararta , Pustaka Firdaus, 2001).,hlm,135.
[23] Acep Hermawan,Ulumul Qur’an,(Bandung:Remaja
Rosdakarya,2011),hlm.,117.
No comments:
Post a Comment